Sabtu malam, tanggal 22 Oktober 2022 di Mushollah Pondok Pesantren Al-Firdaus seluruh santri al-Firdaus memperingati Maulid Nabi dan Hari Santri Nasional (HSN). Ini merupakan rangkaian acara ketiga setelah paginya telah dilaksanakan upacara HSN di lapangan pondok al-Firdaus. Acara dimulai dengan pembacaan teks MC oleh Faza Amadea, santri putri asal Tangerang. Setelah itu pembacaan ayat suci oleh Maulid Safii, santri putra asal Purbalingga. Dilanjut sambutan ketua panitia HSN, Akhmad Choirur Rozikin menyampaikan tiga hal bahwa pertama mengucapkan terima kasih kepada seluruh santri yang telah meluangkan waktu mengikuti serangkaian acara HSN, kedua mengucapkan terimakasih kepada seluruh panitia yang telah membantu menyukseskan acara, dan ketiga meminta maaf kepada seluruh pihak jika terdapat banyak kekurangan dalam serangkaian acara tersebut. Acara ini dibuat semi formal dengan lantunan sholawat dari grup rebana al-Firdaus.
Romo KH Ahmad Ali Munir M.Si menyampaikan nasehat-nasehat untuk para santri al-Firdaus. Nasehat pertama adalah ajakan untuk melakukan evaluasi diri. Menurut beliau evaluasi diri harus dilakukan setiap hari, karena umur itu berkurang terus menerus. “Ketika kamu anak kecil berpikirlah saat kamu sudah besar, Ketika kamu berada di sekolah dasar berpikirlah ketika kamu sudah berada di sekolah tinggi, ketika kamu masih kuliah maka berpikirlah ketika kamu telah lulus. Dan ketika kamu saat ini masih hidup maka berpikirlah kalau mati mau jadi apa?”, jelas pengasuh pondok al-Firdaus.
Abah Kyai kemudian melanjutkan nasehatnya, “Jangan kamu buang waktu yang ada, maka jadikanlah hidup mu tersenyum. Semua yang diciptakan Allah itu bagus. Oleh karena itu, kami tidak pernah menilai santri hanya sesaat. Tidak seharusnya mendidik itu dengan bahasa militer. Gunakan bahasa ibu, bahasa ketika menyampaikan nasehat menyatuhkan lisan dan hati untuk mendidik. Kata “Pemimpin” lebih baik diganti dengan kata “Pendidik”. Hidup itu harus bersama-sama. Dari awal bertemunya sperma dengan ovum, mengajarkan kita bahwa memang kita diciptakan untuk saling mengenal. Sehingga jangan suudzon atau berburuk sangka. Tidak ada jarak jika ada cinta diantara sesama”.
Tidak hanya evaluasi diri, Abah Kyai juga mengingatkan pentingnya relasi. “Mau jadi apa besok berkumpulah pada relasi orang-orang sejenis. Ingin menjadi dosen maka berkumpullah dengan orang-orang intelektual, ingin menjadi pengusaha maka berkumpullah dengan kelompok pengusaha. Ingin menjadi politisi maka berkumpullah dengan organisasi atau partai-partai politik. Santri diingatkan untuk paham dunia politik atau siyasah. Masalahnya politik di Indonesia selalu berangkat dari suudzon”, imbuh Kyai.
Beliau menggambarkan betapa kerasnya dunia luar, di pegawai negeri misalnya jabatan menjadi candu. Selamanya seseorang ingin bertahan mempertahankan jabatan tersebut. Segala cara tidak jarang dilakukan untuk menghalalkan tujuan. Maka tawadhu santri harus lihat kondisi dan situasi. Santri harus maju jika memang untuk kebaikan umat. Dikhawatirkan jika santri tidak berani mengambil peran dalam berbagai lini masyarakat maka orang yang tidak berakhlak dan tidak berbobot memimpin kalian.
Kata beliau, terlalu mencintai dunia akan merusak akhlak dan pikiran. Semua sesuatu itu akan usang jika kamu tinggalkan berbeda halnya dengan al-Qur’an jika kamu tinggalkan maka yang usang atau berdebu adalah kamu. Begitu juga dengan ilmu, jika kamu tinggalkan maka hilanglah diri dan percumalah usaha selama ini.
“Proses hidup mestinya harus dibangun mulai sekarang, Yang kita bangun adalah bagaimana ilmu dan harta berjalan beriringan, maka hidup antara ilmu dan harta akan ketemu. Namun bila sejajar maka selamanya tidak akan ketemu seperti sebuah garis yang sejajar. Hari santri ini adalah momen untuk berpikir kedepan, untuk kehebatan dan kemajuan anda di masa depan. Proses harus menujuh kepada kebaikan”. Akhir dari nasehat Abah Kyai malam itu.
Penulis kurnia