Tradisi Baratan Ratu Kalinyamat Menyambut Bulan Ramadhan

Jepara adalah salah satu kabupaten diprovinsi Jawa Tengah. Kabupaten ini berbatasan dengan laut Jawa disebelah barat dan Utara. Disebelah timur berbatasan dengan kabupaten Pati dan Kudus. Sedangkan disebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Demak.

Jepara terkenal dengan makanan yang khas, pariwisata maupun budayanya. Salah satunya yaitu budaya baratan. Budaya baratan adalah salah satu budaya khas kabupaten Jepara yang berkaitan erat dengan Ratu Kalinyamat. Tradisi ini dilaksanakan untuk memperingati datangnya bulan Ramadhan sekaligus memperingati meninggalnya Sultan Hadirin yaitu suaminya Ratu Kalinyamat.

Pada tahun 1549, keluarga Sunan Prawata Sultan keempat Demak dibunuh oleh Rangkut dan Gopta suruhan Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat menemukan keris Kyai Betok milik Sunan Kudus yang tertusuk pada mayat kakaknya. Menurut Babad Tanah Jawi, Ratu Kalinyamat datang menuntut keadilan atas kematian kakaknya. Tetapi Sunan Kudus mendukung Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat kecewa atas sikap Sunan Kudus. Ia dan suaminya memilih pulang ke Jepara. Namun, ditengah jalan mereka diserbu anak buah Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat berhasil kabur. Namun, Sultan Hadirin tewas. Jenazah beliau dibawa dari desa Perambatan, Kaliwungu, Pringtulis, Mayong, Pelang, Purwogondo, Pecangaan, dan yang terakhir yaitu Mantingan.

Nama dari desa-desa tersebut berasal dari peristiwa kematian Sultan Hadirin. Saat membawa jenazah Sultan Hadirin, darah beliau jatuh disebuah sungai yang menyebabkan air sungai berwarna ungu. Sehingga desa tersebut dikenal dengan Kaliwungu. Kemudian melanjutkan perjalanan ke barat. Karena lelah sehingga berjalan dengan sempoyongan (moyang-moyong). Desa tersebut akhirnya dinamakan Mayong. Karena Ratu Kalinyamat khawatir (melang-melang) kepada jenazah pangeran, maka desa tersebut dinamakan Pelang. Kemudian jenazah mengeluarkan bau (gondo) yang akhirnya dinamakan desa Purwogondo. Dilanjutkan perjalanan membawa jenazah dengan keberatan (montang-manting) yang akhirnya dinamakan desa Mantingan.

Pada waktu itu, masyarakat setempat menyalakan obor disepanjang jalan dan rumah mereka masing-masing. Karena pada waktu itu tidak ada lampu untuk menerangi jalan. Konon masyarakat menyalakan obor untuk menerangi Sultan Hadirin yang pada waktu itu digotong karena kesakitan dan pada akhirnya meninggal dari daerah Mayong hingga mengeluarkan bau didaerah Purwogondo.

Sebenarnya maksud dari Tradisi Baratan adalah tradisi untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, tepatnya pada tanggal 15 Sya’ban. Sya’ban berarti thariqul jabali, yang berarti jalan yang menanjak naik atau jalan kebaikan. Pengertian ini sesuai dengan hadis rasulullah yang menyatakan bahwa bulan Sya’ban merupakan bulan berkembangnya kebaikan yang sangat banyak. Karena hal ini, umat Islam dianjurkan untuk beribadah dan berbuat kebaikan.

Bagi masyarakat Kalinyamatan sendiri, tradisi ini dilakukan dengan membaca surat Yasin sebanyak tiga kali setelah sholat Magrib. Dilanjutkan dengan sholat sunnah tasbih. Kemudian melakukan sholat Isya’ dan dilanjutkan dengan membaca doa Nishfu Sya’ban yang dipimpin oleh ulama’ atau Kyai setempat. Acara yang terakhir yaitu melakukan bancaan dengan memakan nasi puli yang diberi parutan kelapa. Nasi puli terbuat dari beras dan ketan yang ditumbuk secara halus. Puli berasal dari bahasa Arab afwu lii yang berarti maafkanlah aku. Kemudian para remaja membawa obor atau lampion dengan mengelilingi desa.

Dari sinilah akhirnya timbul akulturasi antara agama Islam dan budaya Jepara. Akulturasi merupakan konsep untuk menggambarkan proses panjang bertemunya dua atau lebih tata nilai antara Islam dengan nilai-nilai lokal dimana individu, kelompok dan masyarakat bertempat tinggal dengan budaya yang telah dimilikinya. Sehingga masyarakat setempat menggabungkan tradisi Baratan yang bersifat islami dan budaya. Namun, pada tahun 2002 komunitas anak muda dari Jepara dalam sanggar Lembayung mengubah tradisi ini menjadi karnaval dengan aksi teatrikal ratu Kalinyamat. Hal ini dilakukan untuk melestarikan tradisi lisan dalam bentuk yang menarik.

Acara karnaval Ratu Kalinyamat dilakukan oleh masyarakat Kriyan, Margoyoso, Purwogondo dan Robayan yang berkumpul di Masjid Al-Makmur dan berakhir di kecamatan Kalinyamatan. Acara arak-arakan dibuka oleh Bupati Jepara. Adapun formasi arak-arakan diantaranya yaitu:

  1. Para barongan yang ditampilkan paling awal sebagai lambang perwujudan setan dan hal buruk yang diusir Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadirin karena umat muslim hendak melaksanakan puasa Ramadan.
  2. Pasukan sekutu joget yang bertugas mengusir para barongan atau setan dan memberi jalan Ratu Kalinyamat.
  3. Prajurit penerangan jalan dengan membawa lampion tradisional khas Jepara impes atau teng-tengan.
  4. Prajurit pembawa umbul-umbul bendera kerajaan Kalinyamat dan prajurit pembawa genderang perang.
  5. Prajurit bersenjata tombak, pedang atau perisai, gada, prajurit wanita bersenjata panah, prajurit berkuda dengan senjata tombak, pedang, dan panah.
  6. Senopati atau panglima Ki Demang Laksamana yang membawa keris dan tombak.
  7. Dayang-dayang, Ratu Kalinyamat, Sunan Hadiri dan Patih sungging Badar duwung.
  8. Santri pengikut Sunan Hadirin yang memakai baju putih-putih dan memakai surban.
  9. Berkostum hewan peliharaan kerajaan Ratu Kalinyamat.
  10. Abdi dalem Keraton kerajaan Ratu Kalinyamat.
  11. Ibu-ibu berkebaya membawa tumpeng puli yang berbentuk unik.
  12. Prajurit perwakilan dari setiap desa Kecamatan Kalinyamatan.
  13. Siswa SD, SMP, SMK satu Kecamatan Kalinyamatan membawa lampion untuk memeriahkan dan menyanyikan yel-yel.

Penulis: Icha Auliya Rizqiya (Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)

Share this post!

adminypmialfirdaus

adminypmialfirdaus

Leave a Reply